Nasihat TGB Soal Revolusi Industri

REPUBLIKA.CO.ID, SERANG (sumber) -- Islam mengajarkan umatnya untuk selalu berpikir optimis di masa apapun, termasuk di masa revolusi industri saat ini. Perubahan zaman menjadi pun sebuah keniscayaan dan menghadirkan sebuah tantangan yang harus dihadapi. Karena itu, revolusi industri jangan dianggap sebagai hal menakutkan dan menjadi monster atau perusak.

"Selalu setiap saat ada proses hidup dan mati. Tak hanya manusia, tapi juga masa atau zaman, semua ada massanya," kata Gubernur NTB Muhammad Zainul Majdi saat mengisi kuliah umum bertajuk "Daya Saing Bangsa di Era Revolusi Industri 4.0" di Universitas Serang Raya (Unsera). Diharapkan, motivasi dan pengalaman yang disampaikan TGB itu dapat memberikan semangat anak-anak Unsera dalam menuntut ilmu dan menghadapi persaingan di masa depan.

Dalam menghadapi setiap perubahan, kata TGB, ada beberapa yang perlu menjadi perhatian dan terus dijaga. Antara lain memelihara spiritualitas, optimisme, kedisiplinan, nilai-nilai baik seperti kejujuran dan integritas, lalu konektivitas untuk saling berhubungan dan silaturahmi antarsesama, dan literasi kolektif.

"Bagaimana kita melewati dan berkontribusi menghadapi revolusi industri, mari bangun karakter yang baik, dan juga literasi kolektif. Artinya perlu memahami, bagaimana kita merespons sesuatu kalau kita enggak paham," kata TGB.

TGB mengatakan, bangsa Indonesia harus memiliki kesadaran kolektif yang menjadi pondasi dan kekuatan utama dalam upaya membangun bangsa, tak terkecuali di saat revolusi industri 4.0 ini. Dia mencontohkan, betapa dampak revolusi industri 4.0 sudah terjadi di masyarakat Indonesia, di mana memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap teknologi, terutama telepon pintar.

"Hp dulu hanya satu kamera (belakang). Sekarang kalau satu kamera tidak mungkin laku, karena butuh kamera depan untuk selfie (swafoto). Tidak ada manusia yang paling suka selfie kecuali manusia Indonesia, bahkan saat di Masjidil Haram sekalipun," kata TGB.

Tak hanya itu, geliat media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan lainnya juga menyimpan sebuah risiko, selain tentu juga ada manfaatnya. Salah satu yang menjadi kekhawatiran ialah perihal data-data pengguna yang dihimpun para penyedia layanan media sosial.

Menurutnya, kebocoran data pengguna yang terjadi menjadi salah satu bukti yang menegaskan kekhawatiran tersebut.  "Maka, data itu, bisa saja dijual ke perusahaan lain. Revolusi industri 4.0 sudah ada di tengah-tengah kita, yang harus kita miliki ialah sikap terbaik," lanjutnya.

TGB menilai, gejala ketergantungan terhadap media sosial sudah begitu tinggi, termasuk di kalangan mahasiswa. Banyak dari mereka yang akan kelimpungan begitu media sosialnya tidak bisa diakses selama sehari, ketimbang tidak mengikuti mata kuliah.

"Lebih susah kehilangan akun FB atau Instagram dari pada kelolosan dua satuan kredit semester (SKS) mata kuliah. Ini menunjukan keterkaitan kita terhadap revolusi industri itu sudah sangat tinggi," ucapnya.

Fenomena lain yang terjadi pada masa revolusi industri 4.0 bisa dilihat dari sektor transportasi. TGB mengambil contoh perusahaan taksi Blue Bird yang memiliki sekitar 26 ribu armada dan sudah berdiri sejak puluhan tahun memiliki nilai pasar sebesar Rp 10 trilun.

"Sedangkan Gojek, dia tak punya satupun motor, tapi dia punya nilai pasar mencapai Rp 53 triliun. Dia (Gojek) punya nilai pasar sebesar itu karena memiliki sistem yang terus berkembang," katanya.

Sebagai sebuah bangsa, lanjut dia, seluruh elemen bangsa harus berperan aktif dalam menjaga dan memajukan bangsa di masa sekarang dan masa yang akan datang. Pembentukan karakter dan ilmu menjadi sebuah kewajiban bagi generasi bangsa.

"Kalau kita tidak punya ilmu dan mental yang cukup maka justru kita akan dibentuk revolusi industri itu sendiri," ucap TGB.

Rektor Unsera Hamdan menyambut positif kehadiran pria yang dikenal dengan sebutan Tuan Guru Bajang (TGB) tersebut. Dia menilai, revolusi industri 4.0 berlangsung begitu cepat dan memberikan tantangan yang tidak mudah.

Menurutnya, banyak perusahaan-perusahaan besar yang sudah berdiri sejak puluhan tahun, harus tutup lantaran tak siap menghadapi persaingan dalam revolusi industri 4.0.

 "Besarnya perusahaan bukan menjadi jaminan, tetapi kemampuan dalam adaptasi yang menentukan kesuksesan dan berkembangnya di masa revolusi industri 4.0," ujar Hamdan. (Republika : Sumber)